-->

Hiruzen Stream

Kelas virtual mata kuliah Botani (Biologi tanaman, Anatomi tumbuhan, morfologi tumbuhan dan sistematika tumbuhan tinggi), Biologi Control dan umum serta seputar teknologi informasi dan komunikasi (komputer, android, tutorial, software dan blogging)

Mencari jejak sang pencerah


Penguasa siang nampak terbakar oleh kobaran api dan menyemburkan cahaya panas yang menghujam ke permukaan bumi, suara desingan mesin-mesin robot jalanan menambah kepenatan saat itu, deru kereta api terdengar sangat mengerikan seolah-olah mengancam keselamatan kehidupan di sekelilingnya.
Sebuah keadaan yang tak enak dilihat mata tersaji di dalamnya, beberapa pondok yang berdiri diantara rel kereta dengan berlantaikan kerikil dan berdingdingkan kardus membuat suasana semakin tidak nyaman. Sesosok tubuh terkulai lemas hanya dengan berbalutkan kain yang tercabik dan kaki yang beralaskan darah yang bercampur dengan pasir dan kerikil serta sebatang pisau tertancap kuat di bagian punggungnya tengah digerumuti warga yang tinggal disekitar area rel kereta api tersebut.
Keadaan ini membuatku penasaran dan ingin sekali melihat wajah orang tersebut tapi pandanganku terhalangi oleh gerumulan warga. “Permisi pak! Ijinkan saya melihat orang itu.” Pungkasku. Tapi itu sia-sia saja mereka tidak menggubris perkataanku dan tidak memberikan jalan untukku. Aku mencoba untuk menerobos masuk ke tengah kerumunan warga. Namun belum sempatku melangkahkan kakiku, polisi datang bersama ambulan. Kemudian kerumunan warga disekitar TKP dihalau dan dibatasi oleh police line sehingga jarak pandanganku semakin tidak jelas. Wajah orang tersebut terus membelakangiku sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya, herannya struktur fisik yang dapat dilihat dari belakang nampak tidak asing lagi bagiku sehingga rasa penasaranku memuncak.
Karena rasa penasaranku itu aku berusaha berputar memindahkan posisiku menuju ke depan agar bisa melihat wajah orang tersebut. Jarak police line yang berjarak 10 meter dari korban membuatku berputar agak jauh. “Terlambatlah sudah!” gumamku dalam hati. Aku tidak menyaksikan wajah orang itu karena polisi bersama tim medis terlanjur mengangkat tubuh orang itu dan memindahkannya ke dalam ambulan. Kembali ku coba untuk mendekati orang tersebut dengan menghampiri ambulan tersebut tapi polisi di sana menghalangiku dan ambulan itu pun mulai meninggalkan tempat kejadian untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit. Keadaan ini benar-benar membuat rasa penasaranku berada pada klimaksnya. “ Pak, apa yang terjadi pada orang itu?”, tanyaku pada seorang warga. “Dia ditusuk oleh si Japra preman sini”, jawabnya. “Kenapa dia ditusuk?”, aku mencoba korek informasi lebih dalam untuk menjawab rasa penasaranku. “kami semua tidak tahu alasan japra menusuk orang itu, ketika kami pergoki orang itu telah tertusuk”, jawabnya. “Lalu sekarang bagaimana dengan Japra?” kembali ku lemparkan pertanyaan. “dia kabur ketika kami pergoki dan sekarang dia sedang jadi buronan polisi”, jelas dia. “Lalu siapa orang yang ditusuk ini, apakah dia penduduk sini juga?” tanyaku. “Kami tidak ada yang mengenal dia, tapi kayaknya bukan penduduk sini. Diantara kami tidak ada yang mengenalinya sehingga kami melapor ke polisi”. Jawabnya.
Tanpa lupa berterima kasih aku bergegas meninggalkan tempat itu dengan harapan orang yang terluka tadi bukan orang yang kucari. Langkahku agak tersendat-sendat selama perjalanan ke rumah bila aku mengingat kejadian yang baru aku saksikan.
Tiga hari berselang setelah kejadian itu, aku berangkat ke kantor dengan berjalan kaki sembari menghirup udara yang masih terasa segar, karena walaupun di kota tingkat polusinya tinggi, tapi jalan yang kulalui melewati taman kota sehingga udara di sekitar taman kota itu tergolong bersih. Selama perjalananku aku menyaksikan pohon cemara seolah memberikan penghormatan dengan sesekali meloloskan cahaya fajar menembus celah-celah dedaunan sehingga merahnya fajar seringkali terasa menemani perjalananku. Tak lupa kicauan burung pagi itu bagai alunan melodi yang menggantikan suara bising kendaraan bermotor yang hanya sesekali melintas disampingku pagi itu. Hari ini nampaknya akan lebih indah dan lebih baik untuk ku lalui.
Seperti hari-hari sebelumnya aku sudah terbiasa berburu sarapan di pinggir jalan karena aku hanya hidup sebatang kara setelah aku mengusir dan menceraikan Isteriku 6 tahun yang lalu sehingga tidak sempat untuk menyiapkan sarapan sendiri karena harus masuk kantor pagi. Pagi ini aku berharap penjual bubur ayam langgananku berjualan kembali setelah absen berjualan kemarin. Langkahku agak cepat seiring rasa takutku waktu akan meninggalkan pagi lebih cepat. Sesampainya ditempat yang kutuju yaitu tempat dagangnya penjual bubur ayam langgananku, aku merasa kecewa karena dia kembali tidak berjualan. Tapi beruntunglah hanya berjarak sekitar 3 meter dari tempat itu aku melihat seorang nenek yang sudah tua tengah menjajakkan kue serabi bersama kue bakwan, pisang goreng dan gorengan. “untung ada serabi sepertinya ini yang pepatah bilang pucuk dicinta ulampun tiba, walaupun tak ada rotan….. eh.. tak ada bubur, serabi pun why not.” Gumamku dalam hati sambil membayangkan perutku ini terisi dipenuhi bakwan dan serabi.
“Pagi, Mak!”, aku coba menyapa. “Pagi juga Nak, mau beli kue Nak?” balas nenek itu menyapa dengan suara yang agak kurang jelas. “ Iya nih Mak, laper belum sarapan, apa aja tuh Mak yang dijual?”, aku bertanya akrab. “Tuh ada serabi, bakwan, pisang goreng, tempe goreng dan bakpau”, jawabnya. “Harganya berapaan tuh mak?” ku bertanya sambil tersenyum. “Serabi Cuma dua ribuan, bakpau, bakwan, tempe goreng, dan pisang goreng harganya Gopek.” Jawab si nenek sembari bercanda. “wiih gopek mak?? Gaul juga mak ini”, aku coba mengejek. “Iyalah walaupun nenek sudah tua tapi langganan kue nenek masih muda dan gaul-gaul”, tepis nenek penjual serabi itu. “Emang Emak tahu gopek itu berapa??”, Aku kembali mengolok-olok si nenek. “tahu donk! Gopek itukan seribu”, jawab si nenek. Hppt…. Aku ingin tertawa mendengar perkataan si nenek itu, tapi aku mencoba menahan tidak tertawa untuk menjaga perasaan si nenek agar tidak tersinggung. Perlahan aku menjelaskan kepada si nenek bahwa gopek itu lima ratus rupiah. Setelah aku menjelaskan itu si nenek tersenyum sendiri merasa malu dengan ungkapan gopek yang nilainya keliru. Tanpa berlama-lama lagi aku menyuruh si nenek itu untuk membungkus 2 buah serabi, 1 buah pisang goreng, 2 buah bakwan, dan 2 buah bakpau sembari aku mencicipi 1 buah pisang goreng. Ketika hendak membungkus pesananku nenek itu mengeluarkan Koran terbitan 2 hari lalu, Koran itu memuat peristiwa yang ku saksikan 3 hari lalu.
Aku merasa penasaran dengan Koran tersebut dan aku mengambil Koran itu untuk ku baca, belum sempat aku membaca isinya tiba-tiba pandanganku seperti ditarik oleh magnet dan mengarahkan bola mataku untuk melihat insert poto korban tersebut. Betapa kagetnya aku melihat wajah korban itu yang dimuat pada Koran. Duggg……. Tiada angin tiada hujan, telingaku seperti mendengar petir di pagi hari yang cerah. Aku menghentikan proses kunyahanku secara otomatis, kemudian pisang goreng yang sudah masuk kedalam mulutku berontak untuk keluar. Tanpa perlawanan kubiarkan pisang goreng tersebut meninggalkan mulutku. Seketika itu dalam pandanganku langit terlihat dimakan kegelapan dan dihujani petir yang menyambar di sana-sini. Burung-burung yang tadi tenang serentak beterbangan melarikan diri dari sekitar ku berada karena mendengar gema teriakanku yang memecah langit. Seketika itu pula aku tak sadarkan diri dan tidak tahu apa yang terjadi setelah itu.
Sesadarnya dari kolapsku, aku sudah berada di dalam kamar sebuah rumah sakit dengan ditemani beberapa warga beserta si nenek penjual kue itu. Setelah aku bertanya kepada mereka ternyata aku tidak sadarkan diri hampir 5 jam. Kemudian aku teringat kembali kepada lembaran Koran yang kulihat sebelum aku tak sadarkan diri, tanpa basa-basi aku meninggalkan tempat tidurku dan menembus halangan warga yang menemaniku, dengan langkah yang gontai aku mencoba mendekati meja resepsionis. Warga yang tadi menemaniku mulai mengikuti langkahku tanpa sedikitpun menghentikan gerak kakiku. Sesampainya di meja resepsionis aku mencoba mengorek informasi mengenai keberadaan korban penusukan 3 hari yang lalu. Tanpa menunggu waktu yang lama aku mendapatkan informasi bahwa korban penusukan itu telah melalui hidupnya di ruang ICU dalam kondisi yang sangat kritis dan belum pernah mengalami sadar semenjak kejadian itu.
Bergegaslah aku menuju ruang ICU dengan langkahku yang lebih gontai sehingga harus dipapah oleh salah satu warga yang menemaniku. Sepanjang perjalana aku seperti tidak memperdulikan kondisi lemahku yang baru siuman dari ketidaksadaranku.
Tepat di depan pintu ruang ICU langkahku dihentikan oleh polisi dan penjaga rumah sakit, aku tidak diperkenankan masuk ke dalam ruangan tersebut. Aku mencoba berontak untuk masuk ke dalam ruangan, tapi apalah daya kondisiku yang lemah tidak sanggup mengeluarkan kata-kata apalagi untuk menghadapi hadangan tangan polisi dan penjaga rumah sakit. Akhirnya aku mengalah, aku bersandar dibalik pintu menunggu tenagaku pulih sambil menyaksikan orang yang dalam kondisi kritis itu dari luar. Air mata yang hampir 6 tahun serasa semapt kering karena terlalu sering dikeluarkan kini kembali membasahi pipi dan berjalan menuju ke ujung janggutku sebelum terjatuh ke lantai. Ditengah derasnya air mata yang berlinang, aku mencoba membuka mulut dan perlahan mengeluarkan kata yang terbata-bata, “A…..a….ay…a…yah.. a..ayah… ayah” hanya itu yang bisa kukatakan waktu itu. Setelah lama aku terpaku didepan pintu ruang ICU, aku mulai merasakan kaku pada kelopak mataku dan bibirku serasa membeku. Disaat itu pula aku merasakan sesuatu, entah itu nyata atau cuma halusinasiku aku melihat ayahku (orang yang sedang kritis) membukakan matanya dan tersenyum sejenak kearah dimana aku berdiri. Tidak berapa lama setelah kejadian itu, aku melihat ayah berjuang mengambil napas ditengah tersendatnya aliran udara menuju paru-parunya. Seketika itu aku tersadar dari ketermenunganku dan melihat ayah sedang meregang nyawa menghembuskan napas terakhirnya. Seketika itu aku seperti mendapat tenaga tambahan sampai aku bisa melewati hadangan polisi dan petugas penjaga rumah sakit hingga bisa masuk ke dalam ruangan. Betapa kagetnya polisi dan penjaga rumah sakit itu ketika melihat orang yang di atas tempat tidur itu sudah tidak bernyawa. Aku segera berlari menghampiri sosok tubuh yang tak bernyawa itu dan memeluk jasadnya. Betapa sedih dan menderitanya aku selama 6 tahun berpisah dengan ayah yang diusir oleh isteriku. Selama itu pula aku mencari jejak kaki ayah yang hilang disapu angin dan tersibak air hujan. Begitu sosok yang kucari ketemu malah harus kembali pergi bahkan kali ini harus pergi untuk selamanya. Bahkan di detik-detik terakhirnya aku tidak bisa berada disampingnya dan membimbingnya membaca tahlil, aku hanya bisa menyaksikan penderitaannya menghadapi sakarotul maut dari luar. Bagiku seorang ayah adalah sosok sang pencerah yang sebenarnya dalam hidupku. Beliaulah yang telah mengangkatku dari jurang kegelapan menuju kearah kecerahan hidup. Tapi kini ku sadar desir tangis tak mungkin mampu membangunkan dari tidur panjangnya, ketermenunganku takan membuatnya iba dan menegurku. Hanya do’a yang bisa kusertakan bersama kain kafan yang akan menemaninya di tempat penantian panjang.
Tamat.
Share this article :
+
Previous
This is the oldest page
1 Komentar untuk "Mencari jejak sang pencerah"

Innalillahi wainnailahi rojiun..
Mga ditampi iman islam ku Alloh..aamiin

Bener2 kisahnya jadi motifasi bwt sya yg msh ada orng tua..